IoT Messaging Protocols

Getting those billions of devices to engage is no small feat, particularly when you keep in mind the unique man or woman of many IoT gadgets, that are regularly small, remotely deployed and…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




On duty

Win berdiri tepat di gerbang yang pada bagian atasnya bertuliskan ‘SMA Taruna Harapan’. Kedua orang yang ia ajak kemari sedari tadi hanya berbincang kecil. Entah apa yang mereka bicarakan, Win tidak begitu mendengarkan. Pesan terakhir dari Jeffrey yang ia baca adalah Ren akan menemuinya di gerbang pertama.

Jadi di sinilah ia menunggu. Dengan si pembuat onar, dan tatapan-tatapan dari siswa Taruna Harapan yang bisa ia asumsikan mengetahui apa urusan tiga laki-laki dengan badge SMA Negeri 1 itu di sekolahnya.

“Win?”

Laki-laki yang disebut namanya menoleh, “Oit,” katanya.

Ren memindai kedua orang yang kini berdiri di samping laki-laki itu. “Ck, kunaon atuh jang? Aya-aya wae kalakuan teh.”

“Heeh teuing yeuh,” balas Win sambil menengok adik kelasnya sekilas. “Sorry aing kemarin lagi ada urusan. Pas orang Tarhap ke Smansa, aing gabisa nemuin.”

“Kalem lah, udah sama si Bright cenah ya?”

Win mengangguk singkat. “Heeh, kemarin ketemunya sama si Bright.”

“Win ini mah buat heads up weh ya, itu gravity dibikinnya sama kelas 12 buat kenang-kenangan. Asalnya mau Daendels yang nyamperin ke Smansa, tapi jadinya sama kelas 12 langsung.”

Win melipat bibirnya, tatapannya tajam mendelik ke arah dua laki-laki yang berdiri di sampingnya. Sarat akan mewanti-wanti. Sarat akan memberi sinyal bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan hal yang dapat lolos begitu saja.

“Ke gudang weh langsung ya, udah pada di sana da.” lanjut Ren.

“Kang,” Win menunduk sopan yang diikuti oleh kedua adik kelasnya. “Win Metawin, Kang. Bisa dipanggil Win aja.” lanjutnya sambil mengulurkan tangan, menjabat satu persatu kelima orang di hadapannya.

Win dapat melihat dua perempuan yang duduk di kursi pojok, lalu ia tersenyum kepada kedua perempuan itu, “Teh,” sapanya sambil lagi-lagi menunduk sopan.

“Kunaon atuh Win, budak maneh teh? Rupa-rupa wae.”

Laki-laki yang tadi bicara itu mendekat. Matanya meneliti kedua adik kelasnya dari kepala sampakai kaki.

“Iya kang, aduh, sorry pisan urang gabisa ngomong banyak. Kemarin waktu pada ke Smansa kebeneran lagi ada urusan jadi urang gabisa nemuin.” katanya lagi-lagi meminta maaf. Berkali-kali ia tekankan bahwa pada saat itu ia sedang ada urusan. Bukan tidak mau menghadap. Apalagi bermaksud menghindari.

“Sok kumaha-kumaha ieu teh?” satu dari kelima yang lain itu bertanya.

Win melirik ke arah adik kelasnya sekilas, “Sok jelaskeun.” perintahnya.

Yang lebih muda itu kini membasahi bibirnya. Ragu untuk bicara, terlebih ketika melihat delapan pasang mata yang tajam menatapnya menunggu ia bersuara.

“Aing ga ada maksud gimana-gimana, A. Cuma iseng aja.”

Win dengan pikirannya yang berkelana bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah kalimat itu keluar dari orang yang mengekor padanya. Matanya bergerak ke langit-langit — mencoba berpikir — mencari jalan keluar lain dari situasi yang cukup buntu ini.

“Cik atuh goblog make polo saetik mah. Eta hasil karya aing, samaruk sia kikituan teh gampang?!”

Sentakkan itu berhasil membuat kedua orang yang ada di sebelahnya menunduk. Lagi-lagi Win melipat kedua bibirnya, kali ini untuk menahan tawa. Ah, mau dipikir bagaimanapun memang kejadian ini terlalu konyol bahkan menurut standarnya.

“Maneh bisa ngagambar?” tanya salah satu dari ke lima laki-laki itu.

“Henteu, A.”

“Menurut maneh pilox dinu tembok bisa dibersihan teu?”

“Henteu, A.”

“Naha atuh boga leungeunteh teu mangfaat pisan. Terus ku maneh rek dikumahakeun tah gambar kanjut dina tembok?”

Hampir saja kekehan itu terdengar jika Win tidak segera menggigiti bibir bawahnya. Reaksi kedua adik kelasnya yang kikuk itu benar-benar hiburan untuknya. Win tidak kesal melihat anak-anak itu disentak. Sejujurnya Win akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi pada salah satu anak Smansa.

“Jawab, goblog!”

“Hampura, A.”

“Aing mah teu butuh hampura maneh, eta gravity aing rek dikumahakeun, anjing?!”

Kedua adik kelasnya diam lagi. Win yakin mereka juga tidak berani menyuarakan hasil briefingnya Jum’at lalu. Dua kepala itu mungkin hanya berisi makian sekarang. Menyumpah serapahi orang-orang di depannya, dan diri sendiri yang hilang nyalinya.

“Kang, ini teh akang maunya si gravity jadi bagus lagi atau kumaha?” akhirnya Win angkat suara.

“Ai bisa mah.”

“Ku urang diusahakan kalau maunya gitu mah,” katanya lagi. “Urang ada kenalan mural artist.”

“Teu kudu,” perempuan yang sedari tadi duduk di pojok itu ikut bicara. “Aing bisa ngegambar lagi. Itu kenang-kenangan dari angkatan aing, aing gamau itu jadi hasil kerja orang lain.”

“Ya udah atuh teh, materialnya weh dari kita.” usul Win.

“Aing minta lima juta,” kata si perempuan. “Itumah buat materialnya aja sok aing mah bageur ka maraneh.”

Lalu yang tertangkap oleh matanya adalah kedua adik kelasnya yang saling menyikut. Saling melempar tanggung jawab tentang siapa yang seharusnya membayar. Dari cerita yang Win dengar Jum’at lalu, hanya satu orang yang mencorat-coret tembok itu, sementara yang satunya lagi mengaku mengantar saja.

“Tapi Win, aing teh rada aral.” kata laki-laki yang sedari tadi duduk namun kini berdiri dan mendekat ke arahnya.

Senyum Win tersungging. Yang ia prediksikan benar-benar terjadi sebentar lagi.

“Aing asa rada hayang neunggeul budak maneh. Bae?”

Win melirik adik kelasnya sekilas. Menangkap perawakan yang kini jadi layu, batinnya tak tahan untuk menggerutu. Sakirana sieun keneh mah ceuk aing teu kudu sosoan nyieun perkara, katanya.

“Kang, ku aing dibayar full sekarang juga tapi ieu duaan loloskeun weh.”

Win melempar dadunya — mencari angka enam, mencari kemungkinan tertinggi mengharap satu dari kelima itu tiba-tiba jadi orang baik hati.

Laki-laki yang ia ajak bicara tadi tertawa, “Masalah duit mah teu digantian ge aing teu nanaon. Tapi lamun ieu leupas, bisi aing jadi ngadat ka sararea.”

“Sok, rek kumaha, Win?” tanya yang lainnya.

Laki-laki itu menimbang sejenak. Jika ia bersikeras meloloskan kedua adik kelasnya tanpa darah, kemungkinan terburuknya adalah mereka akan diserang di luar wilayah.

“Sok weh kang, teunggeul sakali ewang,” finalnya. “Bae nya, bongan saha maneh jail.” katanya pada kedua adik kelasnya itu.

“Kang, asal weh nya, sesana ka aing keun weh,” kata Win mewanti-wanti. Maksudnya adalah supaya kelima orang itu tidak terlalu keras pada adik kelasnya, biar sisa tenaganya Win yang menghadapi.

“Sok dieu maju,”

Yang selanjutnya terjadi adalah Win yang berusaha terlihat tenang melihat kedua adik kelasnya itu mendapat masing-masing satu pukulan dari kelima orang di hadapannya. Meskipun terlihat kejam, tapi ia tahu bahwa ini adalah deal terbaik dibandingkan berusaha meloloskan yang pada akhirnya akan berakibat pada munculnya Daendels VS Metrolian yang bisa mencelakai lebih banyak orang.

Di luar dugaannya kelima orang itu mau berkompromi, memegang ucapannya seperti yang tadi disepakati. Tidak jadi membabi buta. Atau malah hilang akalnya dimakan nafsu yang kadang tiba-tiba jadi menggebu.

“Heup-heup, kang, engges-engges,” Win melerai. Tangan kirinya berada pada dada laki-laki itu, berusaha menahan.

Kondisi kedua adik kelasnya terlihat lumayan di mata Win. Wajah mereka tidak berubah, hanya terdapat darah yang menetes dari pelipis dan sudut bibirnya. Sedikit memar, belum sampai membiru. Tidak ada pembengkakan di kelopak mata, atau bibir yang seperti habis disengat lebah. Untuk tulang rusuk dan tulang kering yang tadi jadi sasaran, biar ia pastikan nanti saat mereka keluar dari tempat ini.

“Tanaga aing aya keneh, Win.”

Lagi, Win menyunggingkan senyumnya. “Sok kang, ka aing weh.”

Tanpa aba-aba laki-laki itu mendaratkan satu pukulan di rahangnya. Tidak siap dengan serangan itu, badan Win yang sebenarnya sedikit lebih tinggi terhuyung ke belakang. Ah anjing, nu gede tanaga na mah bener weh di ka aing keun.

Merasakan darah di lidahnya, Win meludah, “Naha nu ieu mah tarik, kang?” candanya.

“Cenah sesana di ka manehkeun?” balas laki-laki itu.

Win terkekeh, menoleh dan mengangguk sekilas pada kedua adik kelasnya menyiratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Jadi aing kudu mayar lima juta nya?” Win bertanya sekali lagi yang dijawab anggukan dari perempuan yang masih santai duduk di pojok sana. “Ku aing dibayar tujuh juta, tapi aing neunggeul akang ieu sakali.”

Laki-laki yang ditunjuk itu tertawa. Sejujurnya ia sedikit meremehkan Win dari penampakannya. Tidak apa pikirnya mendapat extra dua juta untuk satu pukulan yang didaratkan untuknya.

“Heeh sok dieu.” senyum tanda meremehkan itu tersungging di wajahnya.

Win mengumpulkan sedikit tenaga pada tiap buku-buku jarinya. Terakhir kali tangan itu mengepal adalah sebulan lalu, saat ia membantu Amel membereskan urusan videonya dengan laki-laki dari SMA sebrang.

Yang sedang bersiap itu berdeham sekali, lagi-lagi meludahkan darah yang masih terasa di lidah. Belum juga berhenti mengalir dari bibir dalamnya.

BUGH!

Pukulan itu berhasil membuat lawannya terduduk. Terlalu tiba-tiba, atau mungkin tenaga dari laki-laki yang rambutnya rapi tertata itu diluar dugaannya. Uluran tangan yang Win berikan untuk menolong laki-laki itu berdiri ditepis olehnya.

Melihat reaksi itu, Win mundur dua kali. Ia menyeka sudut bibirnya yang terasa basah akibat darah yang tak juga berhenti.

“Nanti sama aing di transfer, minta weh nomor rekeningnya,” katanya pada perempuan yang tadi ia ajak bicara.

“Kang, ini udah clear ya. Kalo barudak Tarhap ada yang nyerang Smansa, hitungannya bukan balas dendam lagi.”

Ucapannya itu tidak dihadiahi satupun reaksi. Dengan cepat Win mengetikkan beberapa pesan kepada Jeffrey yang sudah standby menunggu di tempatnya.

Ia lihat kedua adik kelasnya kini terduduk lemah. Win meloloskan tawa kecilnya, menepuk salah satu pundak adik kelasnya sebelum berlenggang keluar dari ruangan yang pengap dan berdebu itu.

— ys.

Add a comment

Related posts:

It Takes Courage Some Days To Rise From My Bed

It takes courage some days to rise from my bed when my head feels like a soiled pillow with half the stuffing gone. Courage to resist the easy escape of sleep. To float with benign indifference in a…

Power Hitting Or Technique? Which Way The Eventual Fate Of Cricket Going?

Since the new format of T20 cricket gained International status in 2004, many batsmen are coming up with varieties of new cricketing shots such as the reverse sweep, the Dil-scoop, sweeping a quick…

Five Reasons To Log Off Of Social Media

Taking regular fasts from social media help us learn, grow, and heal in multiple ways. Dr. Ava Pommerenk shares five reasons why she believes social media fasts could benefit the self and us all.